Apakah dibolehkan dalam syariat Islam, seorang wanita dibolehkan memimpin.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً(سورة النساء: 59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (SQ. An-Nisaa’: 59)
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mentaatiNya dan taat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan memerintahkan mengembalikan segala permasalahan yang dipertentangkan kepada Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (سورة الحشر.7
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (SQ. Al-Hasyr: 7.)
Ibnu Majah (12) meriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib Alkindi, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي ، فَيَقُولُ : بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ ، وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ ، أَلا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ ) . صححه الألباني في صحيح الجامع (8186(
“Akan ada orang yang sambil bersandar di sandarannya akan berbicara dengan haditsku, dia berkata, ‘Antara kita dan kalian ada Kitabullah Azza wa Jalla (Alquran). Apa yang kita dapatkan di dalamnya berupa perkara halal, maka kami halalkan. Dan apa yang kami dapatkan di dalamnya berupa perkara haram, maka kami haramkan. Ketahuilah, apa yang diharamkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sama seperti yang Allah haramkan.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 8186)
Kedua:
Dalil-dalil dalam Alquran dan Sunah menunjukkan tidak dibolehkannya seorang wanita menduduki kepemimpinan umum, seperti khalifah, kementrian, kehakiman dan semacamnnya.
1. Dalil Alquran;
Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم (سورة النساء: 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.( SQ. An-Nisaa’: 34)
Al-Qurthubi rahimahullah berkata;
Firman Allah Ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
Maksudnya adalah mereka mengeluarkan nafkahnya untuk mereka dan membelanya. Juga dipahami, bahwa dari merekalah (kaum laki-laki) yang menjadi para pemimpin dan berperang, bukan pada wanita.” (Tafsir Qurthubi, 5/168)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah seorang laki-laki pemimpin bagi wanita. Dialah kepalanya, pemimpinnya dan pemberi keputusan serta mendidiknya jika bengkok.”
بما فضَّل الله بعضهم على بعض
“Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).
Karena laki lebih mulia dan lebih baik dari wanita. Karena itu, kenabian dikhususkan bagi laki-laki. Demikian pula kepemimpinan tertinggi, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لن يفلح قوم ولَّوا أمرَهم امرأة )رواه البخاري(
“Tidak adakan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita.” (HR. Bukhari).
Demikian pula halnya dalam masalah jabatan hakim. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/492)
2. Dalil dari Sunah.
Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendengar bahwa penduduk Persia mengangkat puteri Kisra sebagai rajanya, beliau bersabda,
لن يُفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة (رواه البخاري رقم 4163
“Tidak adakan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita.” (HR. Bukhari).
Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Kitab Nailul Authar, 8/305, “Di dalamnya terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak berhak menduduki kepemimpinan dan tidak boleh bagi masyarakat untuk mengangkatnya karena mereka harus menghindara segala sesuatu yang dapat menyebabkan mereka tidak beruntung.”
Al-Mawardi rahimahullah berkata saat berbicara tentang jabatan menteri,
Tidak dibolehkan bagi seorang wanita untuk menduduki jabatan tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
ما أفلح قومٌ أسندوا أمرهم إلى امرأة
“Tidak akan beruntung suatu kaum, yang menyandarkan urusannya kepada wanita.”
Karena di dalamnya akan dituntut sebuah pendapat dan kekuatan tekad yang dalam hal ini kaum perempuan lemah, di samping hal ini akan membuatnya harus tampil untuk langsung mengatasi sebuah masalah yang boleh jadi merupakan perkara terlarang.” (Al-Ahkam As-Sulthaniah, hal. 46)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata saat membicarakan masalah kepemimpinan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan seorangpun bahwa masalah ini tidak dibolehkan bagi seorang wanita.” (Al-Fash Fil Milal Wal Ahwa Wan-Nihal, 4/129)
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (21/270) disebutkan,
“Para ahli fiqih sepakat bahwa diantara syarat seorang pemimpin besar adalah laki-laki. Tidak boleh kepemimpinan diserahkan kepada perempuan. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
لن يفلح قوم ولَّوا أمرهم امرأة
“Suatu kaum tidak akan beruntung, urusan mereka serahkan kepada wanita.”
“(Jika pemimpin laki-laki) akan memungkinkan baginya berinteraksi dengan laki-laki, total dalam mengendalikan urusan dan karena umumnya kedudukan ini menuntuk kerja keras dan kekuatan fisik, itu semua cocok bagi laki-laki.”
Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya soal berikut, “Apa sikap syariat Islam terhadap seorang wanita yang mencalonkan dirinya untuk jabatan presiden atau kepala pemerintahan atau seorang menteri?
Beliau menjawab,
“Mengangkat dan memilih seorang wanita menduduki jabatan tertinggi kaum muslimin adalah tidak boleh. Hal ini ditunjukkan dalam Alquran dan Sunah serta ijmak. Dalam Kitab terdapat firman Allah Ta’ala,
الرجال قوَّامون على النساء بما فضَّل الله بعضهم على بعض
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” SQ. An-Nisaa’: 34.
Hukum dalam ayat ini bersifat umum dan menyeluruh yaitu bahwa kepemimpinan itu bagi orang laki-laki, baik dalam keluarganya, lebih utama lagi dalam kepemimpinan umum. Hal itu dikuatkan dengan alasan yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu keunggulan akal dan pandangan dan selainnya yang menjadi faktor penunjang kepemimpinan.
Berdasarkan sunah, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat puteri Kisra menduduki tampuk kekuasaan,
لن يفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة ) رواه البخاري
“Suatu kaum tidak akan beruntung, urusan mereka serahkan kepada wanita.”
Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan diharamkannya seorang wanita menduduki jabatan kepemimpinan tertinggi, juga sebagai kepala daerah. Karena itu semua merupakan sifat umum.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan keberuntungan dan kemenangan bagi siapa yang mengangkatnya sebagai pemimpin.
Juga, karena kemaslahatan yang dapat ditangkap dengan akal menunjukkan bahwa kaum wanita tidak layak mendudukan jabatan public tertinggi. Karena yang diminta dari orang yang dipilih sebagai pemimpin adalah memiliki kelebihan dalam kesempurnaan akal, tekad, kecerdikan, kemauan kuat, pandai memenej. Sifat-sifat ini bertentangan dengan karakteristik seorang wanita yang akalnya kurang, lemah pikiran, emosinya kuat. Maka jika dia dipilih untuk posisi tersebut tidak sesuai dengan tuntutan memberi nasehat bagi kaum muslimin, atau tuntutan meraih kemuliaan dan kemenangan. Wallahuhul muwaffiq. Washallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad wa alaa aaliihi wa shahbihi.” (Majalah Al-Mujtama, edisi 890)
Wallahua’lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar