Pendahuluan
Istilah “Pendidikan Islam”
dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang
dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam
dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang
mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan
nilai-nilai Islam.
Dalam menjelaskan arti Pendidikan Islam akan banyak kita jumpai
beberapa pandangan mengenai pengertian dari Pendidikan Islam itu
sendiri. Burlian Somad.1981,
mengatakan bahwa Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang bertujuan
membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi
menurut ukuran Alloh dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu,
yaitu ajaran Alloh. Secara terperinci beliau mengemukakan, pendidikan
itu disebut Pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu
- Tujuannya membentuk individu menjadi bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
- Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah
laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses
pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia,
Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia
menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya
pendidikan Islam.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam
mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan
seumberdaya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat yang
tercipta merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan demikian Islam
benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Namun hingga kini pendidikan Islam masih saja menghadapi permasalahan
yang komplek, dari permasalah konseptual-teoritis, hingga persoalan
operasional-praktis. Tidak terselesaikannya persoalan ini menjadikan
pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan
sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari
generasi muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga pendidikan
non Islam.
Ketertinggalan pendidikan Islam dari lembaga pendidikan lainnya,
menurut Zainal Abidin Ahmad (1970:35), setidaknya disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu:
- Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan masyarakat sekarang dan akan datang.
- Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika modern
- Usaha pembaharuan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-potong dan tidak komprehensif, sehingga tidak terjadi perubahan yang esensial.
- Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam ketimbang berorientasi kepada masa depan, atau kurang bersifat future oriented.
- Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.
Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam merupakan solusi mendasar untuk
mengganti sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran
sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara
sekilas.Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram,
dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter,
yakni:
Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi
keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua
aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa
(nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah
yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.,
yaitu:
- Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
- Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
- Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim
untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut
al-Ghazali dalam Ali Saifullah: (1987:19) ilmu dibagi dalam dua
kategori, yaitu:
- Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
- Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan
agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik.
Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika
ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi,
fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu
teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian
merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat
Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan
keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut
sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan,
pertukangan, dan lainnya.
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus
dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak
hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada
harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu :
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan
yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur
di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini
ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping
masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada
sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah
masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan
sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas
membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah
keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika
pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah
kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat
TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat
menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada
setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang
secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan
tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan)
diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat
kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan
struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu,
dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Bin al-Khaththab, dalam wasiat yang
dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu,
ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan
ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb,
guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya
mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah
dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau
mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quraan
(Siti Meichati, 1980:15).
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan
secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme,
misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka
memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan
konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk
dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya
serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian
Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas
merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal
di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan
pendidikan.Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap
berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan
Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks
pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban
untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat
secara mudah.
Problematika Pendidikan Islam saat Ini
Problematika pendidikan adalah, persoalan-persoalan atau
permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh dunia pendidikan.
Persoalan-persoalan pendidikan tersebut menurut “Burlian Somad” dalam
S.Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta (1988:12 )secara garis besar meliputi
hal sebagai berikut : Adanya ketidak jelasan tujuan pendidikan, ketidak
serasian kurikulum, ketiadaan tenaga pendidik yang tepat dan cakap,
adanya pengukuran yang salah ukur serta terjadi kekaburan terhadap
landasan tingkat-tingkat pendidikan.
Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin
dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan
Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah
dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah
dengan kehidupan jasmani.
Jika melihat pendapat Muhaimin ini, maka akan tampak adanya pembedaan
dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral
dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang
memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara
pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut
Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam.
Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu,
serta fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan
paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam
dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada
konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep
khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).
Selain itu orientasi pendidikan Islam yang timpang tindih melahirkan
masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan, dari persoalan filosofis,
hingga persoalan metodologis.
Di samping itu, pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan
dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat,
lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak
memeperdulikan lagi sistem suatu agama.
Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi
determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat
Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena
pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan
mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu
pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun
di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam
tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan
teknologi modern.
Hal ini pun didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang
meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”.
Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam sistem pendidikan Islam yang
masih berkutat apa yang oleh Muhammad Abed al-Jabiri, pemikir asal
Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau dalam bahasa Amin Abdullah
disebut dengan hadharah an-nashsh (budaya agama yang semata-mata mengacu
pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks
keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih
semata.
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah
yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran
peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada
di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan
seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains).
Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu
dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik
kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan
berbagai dampak negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama
saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar
sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal
pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu
keislaman.
Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
- Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.
- Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat
- Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock.
- Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif
Solusi Problematika Pendidikan Agama Islam
Solusi Problematika Pendidikan Islam saat ini mencermati kenyatan
tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep dualisme-dikotomik
pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada
tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran
filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan
memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis dan
moral bagi pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan
menjadi sebuah upaya penyatuan keduannya dalam satu sistem pendidikan
integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama dalam satu
sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan
harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan
hanya sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam
mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar
filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian
mengembangkan secara “empiris prinsip-prinsip” yang mendasari
terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio dan kultural)Filsafat
Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat Islam yang
menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era
postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan hikmah wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak
dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu
yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi
Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang ilmu juga atas dasar
asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama dan
ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari
pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula
pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga
pendidikan Islam.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang
utuh atau integral. Baginya, manusia-manuisa saat ini merupakan produk
dari pemikiran Barat Modern yang mengalami suatu kepincangan, karena
merupakan suatu perkembangan yang parsial. Peradaban Islam adalah contoh
lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah perkembangannya
ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan
seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan manusia yang
dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada
hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat
itu.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat materialis yang dapat dibina
dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang bernama teknostrutur. Di
sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme. Dengan demikian,
pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh
aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu
tauhid.
Pandangan filosofis inilah yang menjadikan pentingnya kajian terhadap
pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem pendidikan Islam integratif,
karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak pada dua aspek,
filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi landasan
pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun
kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan
demikian, filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan
menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan
integratif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sekian banyak uraian yang telah penulis tuangkan, dapatlah penulis simpulkan, hal-hal sebagai bertikut :
Sesungguhnya problematika pendidikan yang ada sekarang ini lebih
terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di capai, ketidak
serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga
pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran
terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di
pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai
dari tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.
Solusi yang penulis tawarkan dalam mencari pemecahan masalah , adalah
perlunya meninjau dan merumuskan kembali secara realistis terhadap
problematika yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan kita selama ini.
Wahai kaum Muslim, apakah sistem pendidikan sekuler yang rusak dan
bobrok saat ini akan terus kita pertahankan? Apakah sistem pendidikan
yang buruk lagi gagal ini akan terus kita lestarikan?
Marilah kita bergegas membangun sistem pendidikan Islam, dalam negara
Khilafah, yang akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam.
Generasi inilah yang akan mampu mewujudkan kemakmuran dan kemuliaan
peradaban manusia di seluruh dunia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu
Rangka pikirPembinaan Filsafat Pendidikan Islam; Terjemahan Haidar
Bagir, cet. Ke-4 ( Bandung:Mizan,l992),h.7.
Zainal Abidin Ahmad, Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, cet.ke-1 (Jakarta:PT.Bulan Bintang, 1970 ),h.15.
Hasta,1980),h.159.
Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan (cet.ke-11;Yogyakarta: Penerbit FIP-IKIP,1980),6.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya-Indonesia:Usaha Nasional, tt.),h. 135.
S.Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia ( cet.ke-3;
Bandung:Penerbit [6] Lihat Burlian Somad, Beberapa Persoalan Dalam
Pendidikan Is r, D., & Taylor, P. C.,1995. The effect of culture on
the learning of science in non-western countries: the result of an
integrated research review. International Journal of Science Education, 17(6), 695-704.
Cobern, W. W., 1994. Constructivism and non-Western science education research. International Journal of Science Education(16), 1-16.
Cobern, W. W., 1996. Worldview theory and conceptual change in science education. Science Education, 80(5), 579-610.
Sukmadinata, 1997. Pengembangan kurikulum: Teori dan praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar